Ada seorang pegawai negeri yang saleh pulang kerja lembur pada akhir bulan. Sementara pulang, dalam keadaan perut lapar sehabis lembur, dia berpikir alangkah enaknya kalau sampai di rumah nanti makan nasi panas dengan lauknya yang dibuat isteri tercintanya.
Setelah sampai rumah dia disambut isterinya lalu cuci tangan dan minta disediakan makan. Isterinya menyampaikan bahwa makanan yang ada tinggal nasi dan hanya sedikit sayur bayam tanpa lauk. Sebagai orang yang saleh si pegawai negeri bersyukur karena menyadari bahwa setiap akhir bulan uang pasti sudah habis sehingga bisa makan pun sudah syukur.
Tiba-tiba dia punya ide alangkah nikmatnya kalau sore itu makan dengan sate ayam yang ada di dekat rumahnya karena sehabis lembur dia dapat uang transport yang bisa dipakai jajan sate ayam. Namun dia berpikir alangkah egoisnya kalau dia makan sate sendirian dan isterinya tidak. Dan besok mereka harus makan apa kalau uangnya dipakai jajan sate. Makan sate berdua dengan uang transport yang didapat barusan tidak cukup.
Sebagai orang yang saleh dia memutuskan untuk memberikan uangnya kepada isterinya untuk membeli lauk pauk untuk besoknya. Tapi sore ini lauknya tidak ada. Maka pikirnya mungkin nikmat juga kalau dia makan nasi panas di dekat penjual sate sebab jika bisa mencium baunya saja rasanya sudah seperti makan sate sungguhan.
Maka berangkatlah dia sambil bawa nasi sendiri ke dekat tukang sate. Tentu dia cari posisi duduk dimana angin bertiup. Maka makanlah si pegawai negeri itu dengan lahap sambil tersenyum, rupanya nikmat juga walaupun hanya mencium bau sate.
Lalu selesailah sudah makannya dan perut sudah kenyang tetapi alangkah terkejutnya ketika mau pulang dia ditagih penjual sate untuk membayar. Dia berdalih bahwa dia tidak makan satenya. Jawab tukang sate ngotot bahwa kalau tidak ada bau sate yang dia bikin tentu tidak bisa makan dengan lahap. Lanjutnya bahwa dia duduk dekat tempat jualan sate memang dengan sengaja mau mencium aroma sate sebagai lauk makannya. Tukang sate tetap menuntut bayaran atas aroma sate itu.
Bingunglah si pegawai negeri ini atas tuntutan si penjual sate karena tidak punya uang sama sekali. Ketika tanya berapa harus bayar maka tukang sate menjawab kalau nasi sate 5 ribu rupiah maka untuk mencium dengan sengaja aroma sate cukup seribu saja. Cukup fair juga tukang sate itu. Sementara berdebat kebetulan datanglah ketua RT setempat, orang tua yang dikenal bijaksana, ke tempat itu untuk membeli sate.
Maka mengadulah mereka masing-masing dengan argumentasinya kepada orang tua bijaksana ini. Mereka berjanji apa saja yang diputuskan orang tua ini akan mereka turuti karena mereka tahu pasti akan ada jalan keluar. Pikir tukang sate pastilah dia akan dibayar tetapi pikir si pegawai negeri pastilah tidak akan disuruh membayar karena memang tidak pernah merasakan sate kecuali aromanya saja.
Terjadilah suasana hening menunggu keputusan. Lalu orang tua itu berkata bahwa si pegawai negeri memang harus membayar karena dengan sengaja telah mencium aroma sate dengan tujuan sebagai lauknya meskipun hanya dalam bayangannya. Maka terkejutlah si pegawai negeri dan tersenyumlah si tukang sate atas keputusan itu. Si pegawai negeri terhenyak berpikir bagaimana dia harus membayarnya karena tidak punya uang.
Mendadak orang tua bijaksana itu merogoh kantongnya dan mengeluarkan uang recehan seratusan dan dua ratusan dari kantong celananya dan mulai menghitung seratus, dua ratus, lima ratus, cring.. cring.. cring... sampai genap seribu rupiah. Semua mata memperhatikan tangan sang orang tua tersebut ketika menghitung uangnya.
Lalu katanya kepada si penjual sate, "Apakah anda melihat uang yang saya hitung jumlahnya seribu?"
Jawab si tukang sate, "Benar".
Orang tua itu juga bertanya, "Apakah anda juga mendengar gemerincing uang yang saya hitung?"
Jawab si tukang sate itu pula, "Benar".
"Baiklah kalau begitu", kata orang tua bijaksana kepada kedua orang yang bersengketa, "Persoalan ini telah selesai!".
Terkejutlah si tukang sate bagaimana akhirnya bisa begini. Orang tua itu menjelaskan, "Yang satu dituntut membayar karena telah mencium aroma sate dan yang lain tentu juga harus puas telah dibayar setelah melihat dan mendengar gemericingnya uang seribu rupiah, karena yang satu hanya dapat 'makan sate' dalam bayangannya maka cukuplah adil yang lainya juga dibayar dengan 'melihat dan mendengar' uangnya saja.."